728x90 AdSpace

Latest

Sabtu, 16 Desember 2017

PENGELOLAAN TANAH MASAM DI LINGKUNGAN TROPIKA BASAH MELALUI SISTEM AGROFORESTRI





Pendahuluan

            Tanah di lingkungan tropika basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan ciri khas sebagian besar wilayah di Indonesia.  Tanah jenis ini tersebar di bebarapa daerah di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera terdapat sekitar 21 juta ha, Kalimantan 15,5 juta ha, dan Jawa 2 juta ha (Van der Heide et al., 1992), atau sekitar 29% dari total wilayah Indonesia (Adiningsih et al., 1988).  Tanah-tanah tersebut didominasi oleh tanah oxisol dan ultisol yang dicirikan oleh kandungan bahan organik yang rendah, jerapan P yang tinggi, kandungan nitrogen yang rendah, kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah, serta keracunan alumunium di lapisan bawah (Hairiah dkk., 2000a; Norman et al., 1995). 
Tingginya curah hujan (> 2500 mm tahun-1) memungkinkan tingginya tingkat erosi dan pencucian hara (Hairiah dkk., 2000b). Selama mengalir melalui pori-pori tanah air ini melarutkan apa saja yang ada di dalamnya dan bahkan mampu melepaskan unsur yang terikat oleh permukaan padatan tanah.  Akibatnya, banyak unsur-unsur hara yang terbawa aliran air dari lapisan atas ke lapisan yang lebih dalam.  Unsur-unsur yang semestinya dapat diserap oleh akar tanaman menjauh dari jangkauan akar sehingga tanaman tidak bisa memanfaatkannya.  Hal ini akan diperparah lagi apabila pertumbuhan akar ke dalam juga dihambat oleh lapisan-lapisan penghambat atau keracunan Al (Szoot, et al, 1991; Hairiah, 2000b).
            Pada kondisi semacam ini, sistem agroforestri diharapkan dapat membantu dalam produksi pertanian di lingkungan tropika basah, terutama pada tanah-tanah masam.  Tanaman pohon dengan perakaran yang dalam dapat membantu dalam memelihara hara tanah, menekan erosi, dan konservasi air selain dapat menghasilkan beberapa jenis produk yang memiliki nilai ekonomi (Lundgren and Ranitree, 1983; Nair, 1984).
            Tanaman pohon-pohonan (bukan hanya tanaman hutan) dalam sistem agroforestri  memiliki peran dalam 1) meningkatkan input hara ke dalam tanah, 2) memperluas siklus hara, 3) menurunkan kehilangan hara dari tanah, dan 4) memperbaiki lingkungan (Sanchez et al, 1997).  Penanaman dengan tanaman pangan,  tanaman pohon dapat berperan dalam memperbaiki dan menjaga kesuburan tanah agar dapat berkelanjutan, melalui 1) penurunan aliran permukaan, kehilangan hara, dan erosi tanah; dan 2) memompa hara-hara yang telah larut di lapisan tanah bagian bawah ke lapisan bagian atas agar dapat dimanfaatkan oleh tanaman pangan (Vegara, 1982).  Persoalan yang perlu diperhatikan adalah pemilihan jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap keracunan alumunium, rendah fosfor dan kalsium, dan toleran terhadap naungan (Norman et al., 1995).  Penelitian-penelitian yang mengarah kepada toleransi tanaman terhadap naungan sudah mulai dilaporkan, diantaranya pada tanaman padi (Sopandie dkk., 2003a; Sopandie dkkb., 2003). Persoalan lain yang cukup penting adalah adanya kompetisi untuk mendapatkan air, hara, dan cahaya antara tanaman pangan dan tanaman pohon (Sanchez, 1995). 
Tujuan penulisan paper ini adalah menawarkan alternatif pemecahan masalah pertanian di tanah masam melalui pendekatan agroforestri sebagai bagian dari pertanian yang berkelanjutan, yang pembahasannya ditekankan kepada pemilihan jenis-jenis tanaman yang sesuai serta interaksi antara tanaman pohon dengan tanaman pangan. 

Agroforestri dan Pertanian yang Berkelanjutan
            Secara definitif, agroforestri adalah sistem pemanfaatan lahan berkelanjutan yang dapat memelihara atau meningkatkan total hasil dengan  menkombinasikan tanaman pangan (annual) dan tanaman pohon-pohonan (perennial) dan/atau ternak dalam suatu unit lahan, apakah dalam kurun waktu yang bersamaan atau berbeda, dengan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosilokultural, kondisi ekonomi, dan kondisi lingkungan dari areal lahan tersebut (Vegara, 1982).  Selanjutnya, agroforestri dapat diklasifikasikan melalui tiga cara yaitu berdasarkan ruang, waktu, dan produk, dimana subsistem pendukungnya meliputi agrosilvicultural, yaitu petanaman antara tanaman pohon dengan tanaman pangan, silvopastoral, yaitu pertanaman antara tanaman pohon dengan tanaman pakan ternak, dan agrosilvopastoral, yaitu pertanaman antara tanaman pohon, tanaman pangan, dan tanaman pakan ternak (Vegara, 1982; Lundgren and Raintree, 1983; Nair, 1984).
            Dalam perkembangan berikutnya de Foresta and Michon (1997) mengklasifikasikan agroforestri menjadi dua kelompok, yaitu 1) sistem agroforestri sederhana, dan 2) sistem agroforestri kompleks.   Sistem agroforestri sederhana adalah menanam pohon dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim.  Jenis-jenis pohon yang ditanam bisa memiliki nilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, dan jati, atau bisa memiliki nilai ekonomi rendah tetapi penting untuk lingkungan seperti dadap, lamtoro, dan kaliandra.  Sedangkan tanaman semusim misalnya padi, jagung, kacang tanah dan lain sejenisnya, atau dengan tanaman pakan ternak.  Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman dengan (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan.  Di dalam sistem ini tercakup beraneka jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman semusim, dan rumput-rumputan dalam jumlah banyak.  Kenampakan fisik serta dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan (sekunder maupun primer) dengan siklus yang tertutup.
Konsep yang paling penting dari pertanian yang berkelanjutan adalah integrasi dari tiga tujuan utama, yaitu 1) kesehatan lingkungan, 2) keuntungan ekonomi, dan 3) keadilan social-ekonomi.  Berkelanjutan bertumpu pada prinsip bahwa kita harus mendapatkan kebutuhan pada masa sekarang tanpa mengganggu kebutuhan generasi berikutnya  Dalam bidang produksi tanaman strategi yang harus diperhatikan adalah topografi, karakteristik tanah, iklim, hama, ketersediaan input lokal, dan tujuan produksi.  Beberapa prinsip utama untuk melaksanakan kegiatan tersebut meliputi 1) seleksi spesies dan varietas yang sesuai dengan lokasi dan kondisi pertanian, 2)  diversifikasi tanaman dan cara bertani yang dapat memperluas stabilitas biologis dan ekonomis, 3) pengelolaan tanah untuk memperluas dan menjaga kualitas tanah, 4) penggunaan input yang efisisen dan ramah lingkungan, serta 5) perhatian terhadap tujuan dan cara hidup petani (Freenstra, 2000).
            Memperhatikan definisi agroforestri dan konsep pertanian yang berkelanjutan, maka dapat dijelaskan bahwa agroforestri termasuk system pertanian yang berkelanjutan, kartena ada tiga aspek yang diperhatikan yaitu 1) keuntungan lingkungan, 2) keuntungan ekonomi, dan 3) keuntungan sosial (Vegara, 1982). 

Pemilihan Jenis Tanaman
            Strategi yang dapat dilakukan untuk memilih tanaman yang toleran pada tanah masam, yaitu melalui 1) modifikasi sifat tanaman melalui uji genetik untuk menjadikannya lebih toleran terhadap kemasaman tinggi, dan 2) inventarisasi tanaman yang dapat tumbuh pada tanah-tanah yang memiliki masalah dengan Al.  Seleksi ini umumnya hanya diperoleh jenis tanaman yang toleran dan tidak toleran terhadap Al.  Pada Tabel 1 disajikan beberapa contoh tanaman yang toleran terhadap tingkat kemasaman tinggi.
            Jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap Al, umumnya masih dapat memanfaatkan nitrat dari dalam tanah.  Asimilasi nitrat biasanya berhubungan dengan ekskresi –OH dari akar.  Meningkatnya konsentrasi –OH ini menyebabkan toleransi terhadap Al.  Percobaan lain yang menggunakan campuran NO3 dan NH4 tidak menurunkan toleransinya terhadap Al, namun dengan tingginya kandungan Al menyebabkan terhambatnya penyerapan Ca dan P yang selanjutnya menurunkan serapan NH4 oleh akar tanaman (Fenn and Taylor, 1991; Kulhavy and Cervena, 1991; Rode and Runge, 1991).
            Pertimbangan lainnya dalam memilih tanaman, yaitu yang memiliki perakaran yang dalam dengan tajuk yang tidak melebar.  Pohon yang memilki perakaran yang dalam dan menyebar secara intensif di lapisan tanah bawah akan mengurangi pencucian hara vertikal maupun horizontal. Sebaran akar pohon yang dangkal akan menimbulkan kompetisi akan air dan hara dengan tanaman pangan.  Kompetisi juga terjadi dalam hal peyerapan sinar matahari.   Naungan oleh tajuk pohon akan mengurangi intensitas cahaya yang sangat dibutuhkan oleh tanaman semusim.  Untuk menghindari efek negatif perlu juga dipertimbangkan jenis tanaman pohon yang memiliki sebaran tajuk tidak melebar, atau bila tidak, dapat dilakukan dengan memperlebar jarak tanam pohon atau pengaturan pemangkasan (Hairiah, 2000a). Pada Tabel 2 disajikan beberapa contoh jenis tanaman dengan kedalam perakaran dan sebaran tajuk yang berbeda.  Beberapa jenis tanaman yang tahan naungan perlu juga disarankan sebagai komponen penyusun agroforestri, diantaranya, talas-talasan dan tanaman rempah.  Akhir-akhir ini penelitian tanaman pangan yang mengarah kepada toleransi terhadap naungan juga sudah dikembangkan, begitu juga dengan metode-metode pencapaian hasil yang cepat, diantaranya dilakukan pada padi gogo (Sopandie dkk., 2003a; Sopandie dkk., 2003b).
Tabel 1. Beberapa contoh jenis tanaman yang toleran terhadap tingkat kemasaman tinggi (Hairiah dkk., 2000b)
Kelompok
Nama lokal
Nama ilmiah
Tanaman Pangan
Padi, nanas
Zea mays, Ananas comosus
Palawija
Kacang tanah
Kacang tunggak
Gude
Arachis hypogea
Vigna unguiculata
Cajanus cajan
Tanaman keras (cash crop)
Kopi
Teh
Kepala sawit
Karet
Coffea canephora
Thea sinensis=Camelia sinensis
Elaeis guinensis
Hevea brassiliensis
Pohon buah-buahan
Rambutan
Nangka
Duren
Cempedak
Duku
Mangga
Jambu air
Jambu biji
Jambu mente
Mangga
Sirsak
Pete
Jengkol
Nephelium lappaceum
Arthpcarpus heterophyllus
Durio zibethinus
Arthocarpus integer
Lansium domesticum
Garcinia mangostana
Syzigium aqueum
Psidium guajava
Anacardium occidantale
Mangifera indica
Anona muricata
Parkia speciosa
Pithecellobium jiringa
Pohon penghasil kayu
Sungkai/jati seberang
Pulai
Bulangan
Sengon putih
Mahoni
Mangium
Perunema inerme
Alstonia spp
Gmelina arboria
Paraserienthes falcataria
Swietenia mahogany
Acacia mangium
Tanaman pagar
Petaian
Gamal
Flemingia
Lamtoro
Peltophorum dasyrrachis
Gliricidia sepium
Flemingia congesta
Leucaena leucocephala
Tanaman legume penutup tanah (LCC)
Orok-orok
Calopo

Centro
Kacang asu
Kacang benguk
Crotalaria juncea
Calopogonium muconoides
Calopogonium caeruleum
Centrosema pubescens
Pueraria phaseoloides
Mucuna pruriens var. utilis
Tanaman liar
Melastoma
krinyu
Melastoma sp.
Chromalaena odorata

Nama Tanaman
Kedalaman perakaran
Sebaran tajuk
Lamtoro
Dangkal
Menyebar, perlu 3-5 pangkasan per tahun
Kaliandra
Sedang
Menyebar, perlu 3-5 pangkasan per tahun
Gamal
Dangkal
Menyebar, perlu 3-5 pangkasan per tahun
Dadap
Sedang
Menyebar, perlu 3-5 pangkasan per tahun tetapi kurang tahan terhadap pangkasan
Petaian
Dalam
Terpusat di tengah, pangkasan maksimal 3 kali per tahun
Sungkai
Sangat dangkal
Sempit
Jengkol
Dangkal
Sedang
Petai
Dangkal
Menyebar
Sengon
Dangkal
Menyebar
Jambu air
Dangkal
Sedang
Melinjo
Dangkal
Sempit
Kapuk
Dalam
Menyebar
Jambu mete
Dalam
sedang
Nangka
Sangat dalam
sedang
Mangga
Sangat dalam
sedang
durian
Sangat dalam
sedang
Parameter
Air
Nitrogen
Cahaya
Masukan (input)
Curah hujan, irigasi, runoff
Pemupukan dan masukan organik
Total radiasi harian
Recycle (daur ulang)_
Hydraulic pada akar tanaman
Seresah, pangkasan, sisa panen
-
Upttan.semusim(serapan)
Jml. Air diserap oleh tan. semusim
N-fiksasi (tan semusim) + ΣN diserap (tan. Semusim)
Σcahaya diserap (tan.semusim)
Uptpohon,komp (serapan)
Σtop air diserap (pohon)
Σtop N diserap (pohon)
Σcahaya diserap (pohon)1.2
Uptpohon,nonkomp (serapan)
Σsub air diserap (pohon)
N-fiksasi (pohon + ΣN diserap (pohon)
Σcahaya diserap (pohon)3
kehilangan
Σperkolasi dari zona terendah
Σpencucian dari 1-zona terendah
Σcahaya diserap 
Δtersimpan
Δkandungan air
Δ(N mineral + BOT)
-


Tabel 2. Contoh beberapa jenis tanam dengan kedalaman akar dan sebaran tajuk yang berbeda (Hairiah, 2000a).
Selain berperan sebagai “jaring hara”, akar pohon juga diharapkan dapat menyumbangkan hara yang mudah tercuci seperti nitrogen, kalsium, dan fosfor.  Pasokan nitrogen dapat dilakukan dengan penanaman jenis-jenis tanaman yang mampu menambat nitrogen bebas dari udara.  Menurut Vegara (1982) nitrogen bebas dari udara dapat dikonversi menjadi ammonia yang siap dimanfaatkan oleh tanaman melalui bakteri rhizobium yang berasosiasi dengan akar tanaman leguminosa.  Tidak semua jenis tanaman leguminosa dapat menambat nitrogen dari udara, bahkan menurut Giller et al. (1995) ada beberapa legume penghasil biji justeru menyerap nitrogen lebih banyak daripada yang disumbangkan melalui penambatan nitrogen dari udara.
Ketersediaan fosfor di dalam tanah pada umumnya cukup banyak, namun yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman sangat terbatas.  Oleh karena itu pemilihan jenis tanaman yang dapat berasosiasi dengan cendawan dalam membentuk mikoriza sangat diperlukan, baik ektomikoriza maupun endomikoriza. Hubungan antara akar tanaman dengan cendawan merupakan hubungan yang sangat menguntungkan, dimana eksudat akar tanaman akan menyediakan gula yang sesuai dengan kebutuhan cendawan, sementara cendawan akan memproses fosfat tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman dengan cara mensekresikan enzim-enzim fosfatase, fitase, dan nitrat reduktase.  Dilaporkan, bahwa selain fosfat cendawan ini dapat menyediakan nitrogen, kalium, kalsium, sulfur, dan tembaga.  Penyerapan ini bisa dilakukan oleh hipa-hipa cendawan lebih dari 4 cm dari permukaan akar.  Dengan demikian, mikoriza ini dapat memperluas penyerapan hara dari dalam tanah (Mukerji et al, 1991; Smith and Read, 1997). 
Interaksi Pohon dan Tanaman Semusim dengan Model  WaNuLCas
            Dalam sistem agroforestri, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan pada suatu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaan sumber hidup tanaman berada dalam jumlah terbatas.  Kompetisi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan tanaman lain.  Hambatan dapat terjadi secara langsung (misalnya melalui efek alelopati) atau tidak langsung (misalnya dengan berkurangnya intensitas cahaya akibat naungan, atau menipisnya ketersediaan hara dan air akibat dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang berdampingan). Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi positip atau negatip dari dua kelompok tanaman yang hidup berdampingan dapat digunakan model WaNuLCas sebagai simulasi.  WaNuLCas (Water Nutrient and Light Capture in agroforestry sistems) pertama kali dikembangkan oleh van Nordwijk and Lusiana pada tahun 1999, yang mensintesis proses-proses penyerapan air, hara, dan cahaya pada berbagai macam pola tanam dalam sistem agroforestri (Hairiah dkk., 2002).  Model ini berpijak pada program STELLA IIÃ’ dengan mempertimbangkan 1) neraca air dan nitrogen pada empat kedalaman dari profil tanah, serapan air dan hara oleh tanaman semusim dan pohon yang ditentukan oleh total panjang akar dan kebutuhan tanaman, 2) sistem pengelolaan tanaman, seperti pemangkasan cabang pohon, jarak pohon, pemilihan spesies yang tepat, dan berbagai dosis pemberian pupuk, dan 3) karakteristik pohon, termasuk distribusi akar, bentuk kanopi, kualitas seresah, tingkat pertumbuhan maksimum, dan kecepatan untuk pulih kembali setelah pemangkasan.
            Neraca untuk input hara dan air dalam sistem agroforestri dapat dihitung denngan persamaan:
Dimana,
Δtersimpan          = jumlah hara yang dapat tersimpan dalam tanah
Masukan             = jumlah hara yang masuk
Recycle               = jumlah hara yang dapat diambil dari lapisan bawah
Upttan.semusim       = jumlah serapan hara pada tanaman semusim
Uptpohon,komp       = jumlah serapan hara pada pohon dalam sistem agroforestri
Uptpohon,nonkomp   = jumlah serapan hara pada pohon dalam sistem monokultur
Kehilangan           = jumlah hara yang hilang dari dalam tanah
            Parameter Uptpohon,nonkompetitif mewakili fungsi akar pohon sebagai “jaring penyelamat hara” untuk hara yang tercuci ke lapisan bawah yang terjadi selama musim pertumbuhan, maupun sebagai pemompa hara pada lapisan bawah.  Parameter-parameter tersebut dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Penjabaran parameter pada persamaan di atas untuk penyerapan sumber energi oleh pohon dan tanaman semusim (Hairiah dkk., 2002).
Keterangan:
Akar tanaman semusim diasumsikan mendominasi lapisan atas sedang akar pohon mendominasi lapisan bawah; hurup 1,2, dan 3 mewakili zonasi (jarak) terhadap pohon; N-mineral=NO3 + NH4; BOT= bahan organik tanah

Kesimpulan
            Untuk mewujudkan suatu sistem pertanian di tanah masam yang berkelanjutan dapat menerapkan sistem agroforestri sebagai alternatif pemecahan masalah pertanian lingkungan tropika basah.  Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan mengenai pemilihan jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap Al, toleran terhadap naungan, serta memiliki perakaran yang dalam.  Interaksi antara tanaman pohon dengan tanaman semusim dapat di analisis dengan model simulasi WaNuLCas.
            Perlu terus dikembangkan penelitian-penelitian yang mengarah kepada toleransi tanaman terhadap tanah masam dan naungan.


DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, J.S, Sudjadi, M., and Setyorini, D.  1988. Overcoming soil fertility constraints in acid upland soils for food crop based farming in Indonesia.  Indonesian Agric. Res. and Dev. J. 10: 49-58
De Foresta, H. and Michon, G. 1997.  The agroforest alternative to imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability.  Agroforestry systems 36:105-120

Fenn, L.B. and Taylor, R.M.  1991. Calcium stimulation of ammonium absorption in plants. In: McMichael, B.L. and Persson, H. (Ed.). Plant roots and their environment. Elsevier. Amsterdam.
Freenstra, G.  2000. What is sustainable agriculture ?. http://www.sarep.ucdavis.edu/ concept.ht07
Giller, K.E., McDonagh, J.F., and Cadish, G.  1995. Can biological nitrogen fixation sustain agriculture in the tropics?. In: Syers, J.K and Rimmer, D.L. (Ed.).  Soil science and sustainable land management in the tropics.
Hairiah, K. and van Nordwijk,M. 1986. Root studies on a tropical ultisol in relation to nitrogen management.  Institut voor Bodemvruchtbaarheid, Haren, The Netherlands
Hairiah, K., Utami, S.R., Suprayogo, D., Widianto, Sitompul, S.M., Sunaryo, Lusiana, B., Mulia, R., van Nordwijk, M., dan Cadisch, G.   2000a.  Agroforestri pada tanah masam di daerah tropika basah: pengelolaan interaksi antara pohon-tanaman semusim.  International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor.
Hairiah, K., Widianto, Utami, S.R., Suprayogo, D., Sunaryo,, Sitompul, S.M., Lusiana, B., Mulia, R., van Nordwijk, M., dan Cadisch, G.   2000b.  Pengelolaan tanah masam secara biologi.  International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor.
Hairiah, K., Widianto, Utami, S.R., dan Lusiana, B. 2002.  WaNuLCas model simulasi untuk sistem agroforestri. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor.
Kulhavy, J. and Cervena,M. 1991. Effect of alumunium in the roots of Picea abies seedling. In: McMichael, B.L. and Persson, H. (Ed.). Plant roots and their environment. Elsevier. Amsterdam.
Lundgren, B. and Raintree, J.B.  1983.  Sustained Agroforestry. In: Nestel, B (Ed.), Agricultural Research for Development: Potentials and Challenge in Asia. ISNAR. The Hague.
Mukerji, K.G., Jagpal, R., Bali, M., and Rani, R. 1991. The importance of micorrhiza for roots. In: McMichael, B.L. and Persson, H. (Ed.). Plant roots and their environment. Elsevier. Amsterdam.
Nair, P.K.R.  1984. Classification of agroforestry system. Agroforestry systems 3:97-128
Norman, M.J.T., Pearson, C.J., and Searl, P.G.E.  1995.  The ecology of tropical food crop. Cambridge University Press.  New York. 
Rode, M.W. and Runge, M. 1991. Combined effects of alumunium and nitrogen forms on root growth of ten ecologically distinct plant spesies. In: McMichael, B.L. and Persson, H. (Ed.). Plant roots and their environment. Elsevier. Amsterdam
Sanchez, P.A.  1995. Science in agroforestry.  Agroforestry Sistems 30:5-55.
Sanchez, P.A., Buresh, R.J., and Leakey, R.R.B. 1997. Trees, soils, and food security. Philosophical transactions of the Royal Society, series A, 355. London.
Smith, S.E. and Read, D.J. 1997. Mycorrhizal symbiosis. Academic Press. San Diego
Sopandie, D., Chozin, M.A., Sastrosumarjo, S., Juhaety. T., dan Sahardi.  2003a. Toleransi padi gogo terhadap naungan.  Hayati vol. 10 no. 2:71-75
Sopandie, D., Chozin, M.A., Tjitrosemito, S.,  dan Sahardi., 2003b.  Keefektifan uji cepat ruang gelap untuk seleksi ketenggangan terhadap naungan pada padi gogo.  Hayati vol. 10 no. 3:91-75
Szoot, LT, Fernandes, ECM, and Sanchez, PA.  1991. Soil-Plant Interaction in Agroforestry Sistems. In: Jarvis, PG (Ed). Agroforestry: Principle and Practice.  Proceedings of an International Conference 23-28 July 1989 at the University of Edinburgh, Edinburgh.  Elsevier.  Amsterdam.
van der Heide, J., Setijono, S., Syekhfani, M.S., Flach, E.N., Hairiah, K., Ismunandar, S., Sitompul, S.M., and Van Nordwijk, M.  1992. Can low eksternal input cropping sistem in acid upland soil in the humid tropics be sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB nitrogen management project in Bunga Mayang.  Agrivita 15:1-10 

Vegara, N.T.  1982. New Directions in agroforestry: The potential of tropical legume trees.  East-West Centre and United Nations University. Honolulu.





PENGELOLAAN TANAH MASAM DI LINGKUNGAN TROPIKA BASAH MELALUI SISTEM AGROFORESTRI
  • Title : PENGELOLAAN TANAH MASAM DI LINGKUNGAN TROPIKA BASAH MELALUI SISTEM AGROFORESTRI
  • Posted by :
  • Date : Desember 16, 2017
  • Labels :

thanks for your comments

Top