728x90 AdSpace

Latest

Sabtu, 30 September 2023

Sejarah Sarolangun di Masa Penjajahan Belanda - Jembatan Beatrix



Kecamatan Sarolangun merupakan pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Lokasi pusat-pusat kegiatan tersebut terletak di pertemuan antara Sungai Batang Tembesi dan Sungai Batang Asai yang termasuk dalam wilayah DAS Batanghari (Melisah, 2016). Bukti keberadaan pusat kegiatan ekonomi dapat diketahui dari keberadaan Pasar Atas dan Pasar Bawah yang terletak ditepi Sungai Batang Asai, sedangkan pusat kegiatan pemerintahan saat ini terpusat di kompleks perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun di Gunung Kembang (Makmun, 2018).

Sungai merupakan prasarana transportasi utama yang menghubungkan antara wilayah pedalaman dan pesisir, terutama di Pulau Sumatra bagian selatan sejak periode Prasejarah hingga Sriwijaya  (Manguin, 2009). Umumnya, pertemuan sungai merupakan pusat dari aktivitas masyarakat masa lalu yang melakukan perdagangan antara wilayah hulu dan hilir. Oleh karena itu, pusat-pusat kegiatan selalu terdapat di lokasi yang menjadi pertemuan sungai-sungai besar (Bronson, 1977). Kemunculan pusat perekonomian dan pemerintahan di Kecamatan Sarolangun tidak dapat dilepaskan dari adanya pertemuan Sungai Batang Asai dan Sungai Batang Tembesi. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan, berbagai infrastruktur untuk mendukung transportasi darat juga dibangun. Terutama sejak Koloni Belanda mulai menetap di Kecamatan Sarolangun. Salah satu bukti usaha Belanda dalam membangun infrastruktur transportasi darat adalah dibangunnya Jembatan Beatrix.

Menurut prasasti yang ada di Jembatan Beatrix, jembatan tersebut diresmikan pada tahun 1939. 

Pembangunan Jembatan Beatrix yang dilakukan oleh Belanda mengindikasikan ramainya jalur transportasi yang melewati Kecamatan Sarolangun pada awal abad ke-20. Dalam beberapa catatan perjalanan misionaris Belanda, Sarolangun menjadi salah satu pintu masuk menuju Jambi dari Palembang sebelum jalan lintas timur dibangun. Pastor Van Oort pernah menuliskan catatannya dalam Uit Sumatra pada 1925. Menurutnya untuk menuju Jambi terdapat dua pilihan jalur, yakni melewati laut atau melewati jalan darat melalui Lubuklinggau dan melanjutkan ke Sarolangun, baru setelah itu menelusuri sungai hingga sampai Jambi (Kristina & Azmi, 2019). 

Jembatan Beatrix menjadi prasarana yang menghubungkan  jalan darat di sisi utara Sungai Batang Asai yang menuju ke Bangko dan Sumatra Barat, dengan jalan darat di sisi selatannya yang menuju Lubuklinggau dan Sumatra Selatan.

Ketinggian jembatan yang dibangun juga menunjang lalu lintas kapal kapal besar yang melalui sungai tersebut, apalagi semenjak tragedi tenggelamnya kapal Ophelia pada 1931 (Zentgraaf & Goudoever, 1947). Apabila dibandingkan dengan pembangunan Jembatan Batanghari I di Kota Jambi yang dilakukan pada akhir tahun 1980-an, Jembatan Beatrix telah berdiri 50 tahun lebih awal (Yusuf, 2008).

Saoenk Bang Radja - Cottage dan Tempat Makan Ikonik di Sarolangun

Keadaan ini membuat kajian tentang lokasi-lokasi penting dalam perkembangan Kecamatan Sarolangun dari masa pra-kolonial hingga kolonial menarik untuk dibahas. Masifnya pembangunan fasilitas oleh Belanda pada masa kolonial tidak sekedar fokus pada prasarana penunjang transportasi. Pada masa itu,
Belanda juga membangun berbagai hunian, perkantoran, gudang, dan prasarana lain. Pengembangan wilayah yang sedemikian rupa tentunya tidak dapat dilepaskan dari adanya pusat kegiatan yang telah ada sebelumnya pada masa pra-kolonial. Sumber daya alam yang dimiliki Sarolangun, terutama emas dan minyak bumi, tentunya menjadi alasan mendasar bagi Belanda untuk membangun pusat di wilayah ini (Andaya, 1993). Sumber daya manusia sebagai pendukung tentunya juga telah berupa komunitas-komunitas. Akan tetapi, sangat disayangkan informasi tentang keadaan masyarakat pada masa prakolonial di Kecamatan Sarolangun masih sulit ditelusuri secara mendalam karena keterbatasan data.
Informasi penting lainnya tentang Kecamatan Sarolangun dapat ditelusuri dari laporan Belanda yang menyebutkan tentang penemuan arca ganesha serta reruntuhan bata di Kampung Lubuk, Kecamatan Sarolangun. Lokasi penemuan reruntuhan bata tersebut di atasnya telah dibangun surau atau langgar (Tideman, 1938). 

Informasi ini menunjukkan bahwa di wilayah Kecamatan Sarolangun telah ada aktivitas manusia sejak masa klasik (Hindu- Buddha). Selain itu, keberadaan surau atau langgar di atas runtuhan struktur bata juga menunjukkan bahwa pada masa Islam situs ini kembali difungsikan. Informasi tentang situs klasik di Kecamatan Sarolangun hanya didapatkan dari laporan Belanda, karena sampai sejauh ini penelitian tentang situs klasik di Sarolangun belum pernah dilakukan lebih jauh. Aktivitas manusia di sekitar Kecamatan Sarolangun turut diperkuat dengan keberadaan Prasasti Karang Brahi di Pamenang, Kabupaten Merangin yang berasal dari abad ke-7 M (Coedès et al., 2014). Meskipun secara administratif pada masa kini masuk dalam wilayah Kabupaten Merangin, namun secara lokasional kedua wilayah ini berdekatan dan mengindikasikan adanya aktivitas manusia setidaknya sejak abad ke-
7 M. 





------------------------------- 
Sumber
- Kunjungan Dinas 2023
- Situs-Situs Bersejarah Di Kecamatan Sarolangun
Nainunis Aulia Izza, Ari Mukti Wardoyo Adi, dan Nugrahadi Mahanani






Sejarah Sarolangun di Masa Penjajahan Belanda - Jembatan Beatrix

thanks for your comments

Top