728x90 AdSpace

Latest

Rabu, 14 Februari 2018

Mengenal lebih dekat Suku Asli Papua

Di Papua, atau yang sebelumnya disebut Irian Barat atau Irian Jaya, terdiri dari begitu banyak suku dan sangat beragam. Hakikatnya suku-suku asli Papua, sekitar puluhan suku. Tetapi dalam perkembangannya, suku-suku asli itu berkembang dan beranak-pinak menjadi ratusan suku.
Diyakini bahwa manusia pertama kali bermigrasi ke pulau Papua lebih dari 45.000 tahun yang lalu. Saat ini, seperti dikemukakan Kabarin.com, kemudian disarikan dan dielaborasi lagi dalam Netralnews, bahwasanya  populasi suku-suku di Papua lebih dari 3 juta orang, dan setengah dari populasi, tinggal di dataran tinggi.
Beberapa komunitas ini telah terlibat dalam konflik suku skala rendah dengan tetangga mereka selama ribuan tahun.

1. Suku Huli

Suku terbesar, wigmen Huli, melukis wajah mereka dengan warna kuning, merah dan putih serta terkenal karena tradisi mereka membuat wig hias dari rambut mereka sendiri. Kapak dengan cakar sebagai pelengkap agar memberi efek menakutkan.
Suku Huli
Suku Huli telah lama tinggal di dataran tinggi bagian selatan negara Papua New Guinea lebih dari 1.000 tahun dan memiliki catatan sejarah lisan mengenai sejarah kehidupan sukunya. Suku ini merupakan suku yang memiliki kebiasaan untuk bepergian jauh dalam upaya perdagangan antar wilayah dataran tinggi dan dataran rendah disekitar tempat suku ini berada, khususnya yang berada di wilayah selatan. Suku ini belum pernah melakukan kontak dengan pemerintah kolonial sampai dengan tahun 1951.
Sebagian besar suku Huli menggunakan bahasa Huli dan Bahasa Tok Pisin, sebagian yang lain menggunakan bahasa lokal lainnya

2. Suku Asaro

Sejumlah suku yang berbeda telah hidup tersebar di dataran tinggi selama 1000 tahun, di klan agraria yang kecil, terisolasi oleh medan yang keras dan terbagi dengan bahasa, adat dan tradisi. Suku lumpur Asaro (Asaro Mudmen) yang legendaris pertama kali bertemu dengan dunia Barat pada pertengahan abad ke-20.
Suku Asaro
Mudman begitulah nama lain dari suku Asaro ini. Istilah Mudman atau manusia lumpur sendiri karena mereka punya ciri khas yakni topeng lumpurnya yang menakutkan itu. Ceritanya, para pria Suku Asaro pernah berperang melawan musuhnya lantaran desanya direbut. Lalu entah dapat ilham dari mana, akhirnya mereka melumuri badan dengan semacam lumpur putih dan membuat topeng dari tanah liat. Muslihat ini berhasil dan mereka bisa merebut desa.
Asaro dikenal dengan sistem hidup yang masih primitif, mereka berburu dan juga memanfaatkan hasil hutan. Asaro diperkirakan hanya akan bertahan dalam beberapa tahun saja. Pasalnya, mereka sudah mulai mengenal kehidupan modern. Mungkin saja ketika merasa alam sudah tak lagi menyediakan apa yang mereka inginkan, orang-orang Asaro akan bertransformasi menjadi penduduk papua di kota besar.
Legenda mengatakan bahwa Mudmen terpaksa mengungsi dari musuh ke Sungai Asaro di mana mereka menunggu sampai senja untuk melarikan diri. Asaro masih menerapkan lumpur dan masker untuk menjaga ilusi hidup dan menakut-nakuti suku lainnya.

3. Suku Kalam

Bagian timur pulau Papua memperoleh kemerdekaan penuh dari Australia pada tahun 1975, dan lahirlah negara Papua Nugini.
Para pendatang asing pertama terkesan saat menemukan lembah kebun yang direncanakan dengan hati-hati dan saluran irigasi. Para wanita dari suku-suku adalah petani biasa.
Para pria berburu dan melawan suku-suku lain untuk babi dan perempuan. Upaya besar dilakukan untuk mengesankan musuh dengan topeng menakutkan, wig dan cat.
Suku Kalam
Sama seperti suku-suku lain di Papua, Kalam hidup bergantung kepada alam. Meskipun demikian, mereka punya sistem hidup yang cukup kompleks. Termasuk bagaimana menanam, merawat tumbuh-tumbuhan dan membuat bangunan. Suku Kalam membagi tugas bagi pria dan wanitanya. Kalau pria biasanya bertugas untuk berburu dan berperang. Sedangkan para wanita biasanya merawat tanaman dan juga anak-anak.
Soal perang, suku Kalam memang kadang suka melakukannya. Tujuannya adalah untuk memperebutkan wilayah, wanita dan juga babi. Ciri khas mereka ketika berperang adalah menggunakan penutup kepala besar dan mencoreng mukanya dengan bubuk berwarna.

4. Suku Goroka

Penduduk pribumi pulau terbesar kedua di dunia ini adalah salah satu yang paling heterogen di dunia. Medan yang keras dan perang antar suku sepanjang sejarah mereka telah menyebabkan isolasi desa dan proliferasi bahasa yang berbeda.
Mereka hidup sederhana di desa-desa mereka. Para penduduk memiliki banyak makanan yang baik , keluarga dan menghormati keajaiban alam. Perang suku adalah hal biasa.
suku Garoka
Orang-orang Garoka juga suka berperang. Tujuannya juga untuk mempertahankan wilayahnya serta menguasai kekayaan musuh. Uniknya, ketika berperang pria Suku Garoka biasanya tampil habis-habisan. Mereka akan mengenakan atribut khas suku mereka, termasuk penutup kepala yang besar itu serta dandanan muka yang menyeramkan. Makin seram akan membuat musuh makin takut, begitu lah yang dipercayai suku Garoka.
Diperkirakan suku Goroka sudah ada di Papua sejak seribu tahun lalu. Ratusan tahun terlewati mereka tetap mempertahankan apa yang nenek moyang ajarkan. Ya, menggantungkan hidup kepada alam. Lantaran ajaran ini pula, suku Goroka begitu menghormati pertiwi. Kalau dilihat dari karakteristiknya, Suku Goroka punya sistem yang mirip dengan suku lainnya. Yakni pembagian tugas antara laki-laki dan perempuannya jelas.

5. Suku Yali

Salah satu suku yang mendiami wilayah Lembah Baliem, di tengah-tengah pegunungan Jayawijaya Papua Indonesia, adalah Yali. Mereka hidup di hutan-hutan perawan dataran tinggi.

Yali secara resmi diakui sebagai pigmi, karena rata-rata tinggi laki-laki nya hanya 150 cm . Suku-suku Papua, yang berbeda dalam penampilan dan bahasa, memiliki cara hidup yang garis besarnya sama.

Mereka semua poligamis dan melakukan ritual untuk acara-acara penting di mana pertukaran timbal balik hadiah wajib dilakukan. Koteka, penis labu, adalah bagian dari pakaian tradisional digunakan untuk membedakan identitas kesukuan.


6. Suku Korowai

Selatan pegunungan Jayawijaya Papua Indonesia terdapat area luas dari dataran rendah. Daerah ini mengakomodasi segudang sungai membentuk rawa, lahan basah dan hutan mangrove. Ini adalah habitat dari Korowai.
Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua, Indonesia dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari permukaan tanah.
Sampai tahun 1970, mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka

Korowai adalah salah satu dari sedikit suku Papua yang tidak mengenakan Koteka. Sebaliknya, pria ‘ menyembunyikan’ penis mereka di scrotums mereka, dimana daun kemudian diikat erat . Mereka adalah pemburu-pengumpul, yang tinggal di rumah pohon. Mereka mematuhi separatisme yang ketat antara pria dan wanita.
Banyak masalah di Korowai. Suku yang sering disebut terasing ini mendiami di persimpangan kabupaten Yahukimo, Pegunungan Bintang, Boven Digoel dan Asmat.


7. Suku Dani

Suku Dani adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang terdapat atau bermukim atau mendiami wilayah Pegunungan Tengah, Papua, Indonesia dan mendiami keseluruhan Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya.
Mereka mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat/perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.
Suku Dani masih banyak mengenakan ”koteka” (penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Suku Dani Papua pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda), tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem.

8. Suku Bauzi

Suku Bauzi atau orang Baudi merupakan satu dari sekitar 260-an suku asli yang kini mendiami Tanah Papua. Oleh lembaga misi dan bahasa Amerika Serikat bernama Summer Institute of Linguistics (SIL), suku ini dimasukan dalam daftar 14 suku paling terasing.
Sebagai suku yang menempati kawasan terisolir, sebagian lelaki Bauzi masih mengenakan cawat. Ini berupa selembar daun atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin.
Mereka juga memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung. Sedangkan para wanita mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di pinggang untuk menutupi auratnya. Tapi tidak mengenakan penutup dada.

Pada acara pesta adat dan penyambutan tamu, kaum lelaki dewasa akan mengenakan hiasan di kepala dari bulu kasuari dan mengoles tubuh dengan air sagu. Sebagian besar suku ini masih hidup pada taraf meramu, berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah).



9. Suku Amungme


Suku Amungme adalah kelompok Melanesia yang tinggal di dataran tinggi Papua Indonesia.
Suku Amungme (juga dikenal sebagai Amui, Hamung, Amungm, Amuy, Damal atau Uhunduni) adalah kelompok orang dengan populasi sekitar 17.700 orang yang tinggal di dataran tinggi provinsi Papua dari Indonesia. Bahasa mereka disebut Dhamal.
Keyakinan tradisional masyarakat Amungme yaitu animisme. Orang-orang Amungme tidak memiliki gagasan tentang "dewa" yang terpisah dari alam di mana roh-roh dan alam adalah satu dan sama.
Mereka menjalankan pertanian berpindah, menambahnya dengan berburu dan mengumpul. Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap sekitar gunung suci.
Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi.
Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang perdamaian. Wilayah Amungme di sebut Amungsa.
Mereka mendiami beberapa lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika. Amungme terdiri dari dua kata "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia.
Menurut legenda yang, konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).
Suku Amungme menggangap bahwa mereka adalah penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan).
Suku Amungme memiliki dua bahasa, yaitu Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk suku yang menetap di utara.
Suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang hanya diucapkan saat berada di wilayah yang dianggap keramat.

10. Suku Asmat

Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia.
Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis.
Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku Asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.

Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama.
Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang terjadi bahkan hilang resmi dari ingatan.

-----------------------
Suku ini sudah dikenal hingga ke mancanegara, sehingga tidak asing bila ada peneliti-peneliti dari seluruh penjuru dunia sering berkunjung ke kampung suku Asmat. Mereka umumnya tertarik untuk mempelajari kehidupan suku Asmat, sistem kepercayaannya, serta adat istiadat yang begitu unik dari suku Asmat.
Suku Asmat sendiri sebenarnya terbagi lagi menjadi dua, yaitu suku yang tinggal di pesisir pantai dan suku Asmat yang tinggal di wilayah pedalaman. Pola hidup, cara berpikir, struktur sosial dan keseharian kedua kategori Asmat ini sangatlah berbeda. Sebagai contoh, dari sisi mata pencaharian mereka misalnya, suku Asmat yang berada di wilayah pedalaman, biasanya mempunyai pekerjaan sebagai pemburu dan petani kebun, sedangkan mereka yang tinggal di pesisir lebih memilih menjadi nelayan sebagai mata pencaharian. Perbedaan kedua populasi ini disebabkan juga oleh kondisi wilayah tempat mereka tinggal dan besarnya pengaruh masyarakat pendatang yang umumnya lebih terbuka daripada kebudayaan Asmat sendiri.
Walaupun kedua populasi ini punya banyak perbedaan, namun keduanya memiliki karakteristik yang sama. Misalnya, dari segi ciri-ciri fisik. Suku Asmat memiliki rata-rata ketinggian sekitar 172 cm untuk pria dan 162 cm untuk wanita. Kulit mereka umumnya hitam dengan rambut yang keriting. Ciri fisik ini disebabkan karena suku Asmat masih satu keturunan dengan warga Polynesia.
Wilayah persebaran suku Asmat dimulai dari pesisir pantai laut arafuru hingga pegunungan Jayawijaya. Secara keseluruhan mereka menempati wilayah kabupaten Asmat yang punya kurang lebih 7 kecamatan. Walau nampaknya dekat, namun jarak antar kampung dan kampung dengan kota kecamatan sangat jauh, bahkan perjalanannya dapat memakan 1 hingga 2 hari dengan berjalan kaki. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka tidak bisa memasukkan kendaraan ke Asmat, namun wilayah Asmat yang berawa-rawa hanya bisa dilewati dengan perahu atau berjalan kaki.
Suku Asmat sangat terkenal dengan tradisi dan keseniannya. Mereka dikenal sebagai pengukir handal dan diakui secara internasional. Ukiran asmat sangat banyak jenisnya dan beragam. Namun, biasanya ukiran yang dihasilkan bercerita tentang sesuatu, seperti kisah leluhur, kehidupan sehari-hari dan rasa cinta mereka terhadap alam. Keunikan ukirannya inilah yang membuat nama suku Asmat begitu mendunia hingga kini.
Selain kesenian, salah satu tradisi yang sangat menarik untuk disimak adalah rumah Bujang atau yang biasa dikenal dengan sebutan Jew. Rumah ini adalah bagian penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan suku Asmat. Jew menjadi rumah utama tempat mengawali segala kegiatan suku Asmat di tiap desa yang ada. Begitu pentingnya, hingga dalam mendirikan Jew pun ada upacara khusus yang harus dilakukan. Jew, hanya ditinggali oleh pria-pria yang belum menikah. Sesekali kaum wanita boleh masuk tetapi harus dalam situasi pertemuan besar.
Suku Asmat banyak memiliki kesenian tari dan nyanyian. Mereka menampilkan tari-tarian berikut nyanyian ini ketika menyambut tamu, masa panen, dan penghormatan kepada roh para leluhur. Mereka sangat hormat kepada para leluhurnya, hal ini terlihat dari setiap tradisi yang mereka miliki. Walaupun kini kebudayaan modern sudah banyak berpengaruh pada kehidupan mereka, namun tradisi dan adat Asmat akan sulit untuk dihilangkan. Suku Asmat memiki kebudayaan yang luar biasa dan layak untuk menjadi objek utama yang patut dipelajari lebih jauh saat berkunjung ke Papua


11. Suku Muyu

Suku Muyu adalah suku asli Papua yang hidup dan berkembang di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Nenek moyang suku Muyu jaman dulu, tinggal di daerah sekitar sungai Muyu yang terletak di sebelah Timur laut Merauke. Tersebar di beberapa desa. Oleh beberapa anthropologist, Suku Muyu disebut “primitive capitalists”.
Suku Muyu dianggap sebagai suku pedalaman yang paling pintar. Orang Suku Muyu menduduki mayoritas posisi penting dalam struktur birokrasi Boven Digoel. Dari lebih kurang 1.800 pegawai negeri sipil, sekitar 45 persennya dari Suku Muyu.
Beberapa menjadi bupati. Mereka hemat, bekerja lebih keras dibandingkan suku lain dan sangat menghargai pendidikan. Orang Muyu juga menyebut dirinya sendiri dengan istilah Kati yang artinya “manusia yang sesungguhnya”.
--------------------------------
Suku semakin maju 
Tahun 2009, 2010, 2012 dan 2013, penulis sempat mendapatkan kesempatan berjumpa langsung dengan salah satu suku dipapua (silent), masyarakat asli papua tersebut memang sudah mulai maju dengan masuknya pendidikan dan ketrampilan ditengah komunitas mereka, akan tetapi pada saat saat tertentu, bila ada upacara kematian, perang antar suku, dan perayaan leluhur lainnya mereka kompak memakai pakaian suku (adat) dan berkumpul pada satu tempat untuk selanjutnya menunggu perintah kepala suku (ondo).

Suku di Papua adalah suku-suku yang tinggal di pulau Papua, mereka satu rumpun dengan penduduk benua Australia asli yaitu suku/orang Aborigin.



--------------------------------

Sumber: 
Kunjungan Lapangan/ wisata
http://wikipedia.org/ 
http://www.netralnews.com/
https://www.boombastis.com 
https://www.indonesiakaya.com/


Mengenal lebih dekat Suku Asli Papua

thanks for your comments

Top