728x90 AdSpace

Latest

Selasa, 02 Januari 2018

KAJIAN PENGELOLAAN TANAH TERHADAP TINGKAT BAHAYA EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN GIS (BAB IV)

KAJIAN PENGELOLAAN TANAH TERHADAP TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN TLOGOWUNGU DENGAN MENGGUNAKAN METODE USLE DAN GIS
(disarankan akses melalui dekstop/laptop untuk tampilan Optimal)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum
Daerah penelitian terletak di Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati secara astronomis terletak pada garis lintang 6,61o-6,73o LS dan garis bujur 110,91o-111,05o BT. Kecamatan Tlogowungu memiliki luas wilayah 9.466 ha, dengan ketinggian tempat dari 50-1500 mdpl.
Secara administrasi Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati dibatasi oleh beberapa wilayah administrasi lain yaitu sebagai berikut:
a.                   Sebelah Utara                    : Kecamatan Gunungwungkal,
b.                  Sebelah Selatan                  : Kecamatan Margorejo,
c.                   Sebelah Timur                   : Kecamatan Wedarijaksa,
d.                  Sebelah Barat                    : Kecamatan Gembong
Batas-batas wilayah Kecamatan Tlogowungu tersebut untuk lebih jelasnya disajikan pada Peta 1. Peta Administrasi Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
 Wilayah Kecamatan Tlogowungu menurut data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati memiliki jumlah lahan kritis seluas 797,40 ha. Kondisi lahan di daerah Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati merupakan daerah yang berlereng dan berbukit dengan kemiringan datar sampai curam. Penggunaan lahan pada lokasi penelitian yaitu meliputi: tegalan, sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun, dan permukiman.

 B. Kondisi Iklim
 Pada daerah penelitian, Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati memiliki temperatur rata-rata bulanan lebih besar dari 21°C, untuk rerata curah hujan lebih dari 1500 mm per tahun.Wilayah Kecamatan Tlogowungu tergolong iklim tropis, musim hujan terjadi sekitar bulan Nopember sampai bulan April/ Mei. Rata-rata curah hujan tertinggi pada bulan Januari sedangkan terendah pada bulan Agustus. Untuk rerata hujan tiap bulan pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 6. Rerata Curah Hujan Kecamatan Tlogowungu.
Tabel 6. Tabel Rerata Curah Hujan Kecamatan Tlogowungu.
Bulan
Rerata Curah Hujan Tiap Bulan Periode 1995-2004 (cm)
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Jml Rerata CH(cm)
Januari
25.1
18.1
39.6
57.1
38.2
14.6
20.5
15.8
19.8
11.9
26.07
Pebruari
36.6
13.2
27.3
39.7
31.6
15.1
10.1
18.8
31.6
22.4
24.64
Maret
12.2
11.5
16.5
33.3
17.9
17.2
14.8
27.9
27.8
19.6
19.87
April
10.1
19.3
16.2
25
11
13.9
18.4
32.2
13.9
10.9
17.09
Mei
6.5
13
7.6
15.5
18.9
11.9
5.9
12
3.4
13.8
10.85
Juni
0
5.5
5.7
16
17.3
7.6
0
7.4
11.9
5.3
7.67
Juli
0
5.4
0.7
0
12.3
12.2
0
17.6
3.3
3.9
5.54
Agustus
0
9.5
0.8
0
8.2
13.4
0.2
3
5.6
7
4.77
September
0
18.7
0.5
0
9
9.5
0
13.3
4
5.7
6.07
Oktober
5
18
4.2
0
12
21.2
0
15.4
9
7
9.18
Nopember
20.3
20
5.4
21.4
35.2
25.9
2
28.3
16.8
13.1
18.84
Desember
35.1
20.5
17.1
31.7
27.1
22
29.9
25.2
26.2
21.1
25.59
Jumlah
150.9
172.7
141.6
239.7
238.7
184.5
101.8
216.9
173.3
141.7
176.18
Sumber: Balai Pusat Statistik Kabupaten Pati.

Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati menurut sistem klasifikasi iklim Koppen tergolong dalam tipe Am (iklim tropika basah atau variasi antara iklim Af dan Aw). Iklim Am adalah peralihan antara Af dan Aw dicirikan persediaan air tanah cukup. Tipe iklim tersebut diperoleh dari Diagram Koppen pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Koppen ( Anonim, 2005).

Klasifikasi iklim Koppen merupakan klasifikasi utama yang berdasarkan pada hubungan antara iklim dan pertumbuhan vegetasi. Tipe Koppen digunakan untuk iklim pada tumbuhan/ vegetasi. Menurut Koppen, vegetasi yang hidup secara alami menggambarkan iklim tempat tumbuhnya. Vegetasi tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan hujan efektif yaitu kesetimbangan antara hujan, suhu dan evaporasinya. Jumlah hujan yang sama akan berbeda kegunaannya bila jatuh  pada musim yang berbeda. Oleh karena itu batas-batas klasifikasi Koppen berkaitan dengan batas-batas penyebaran vegetasi (Handoko, 1994).
Iklim Koppen digunakan untuk iklim pada tumbuhan/ vegetasi, di Kecamatan Tlogowungu memiliki tipe iklim Am menurut klasifikasi Koppen berarti bahwa ketersediaan air tanah untuk tumbuhan pada musim kemarau tercukupi pada jangka waktu satu tahun.
C. Satuan Lahan
1.       Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada lokasi penelitian Kecamatam Tlogowungu sebagian besar berupa tegalan. Untuk penggunaan lahan Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Peta 2. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.

2.      Jenis Tanah
Jenis tanah Kecamatan Tlogowungu meliputi tanah inceptisols, alfisols dan oksisols, tanah pada wilayah penelitian disajikan pada Peta 3. Peta Jenis Tanah Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.

3.      Formasi Geologi
Daerah penelitian termasuk dalam formasi geologi Qvlm (Lava Muria) dan Qvtm (Tuf Muria) yang mana termasuk dalam lembar (Quadrangle) Kudus. Lava Muria (Qvlm), di permukaan didominasi oleh sebaran lava, leusit, trakit dan sienit. Tufa Muria (Qvm), di permukaan didominasi oleh sebaran tufa, lahar dan tufa pasiran. tufa umumnya melapuk menengah, berwarna abu-abu kecoklatan, kurang padu, berlapis kurang baik. Formasi geologi pada daerah penelitian disajikan pada Peta 4. Peta Geologi Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.
4.      Kemiringan Lereng
Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati memiliki kemiringan lereng dari datar sampai curam. Kemiringan lereng pada lokasi penelitian disajikan pada Peta 5. Peta Kemiringan Lereng  Kecamatan



5.      Hasil Homogenitas Penggunaan Lahan, Jenis Tanah, Formasi Geologi, Dan Kemiringan Lereng Menjadi Satuan Lahan.
Besarnya erosi pada daerah penelitian dihitung berdasarkan tiap satuan lahan yang terbentuk. Satuan lahan diperoleh dengan mengoverlay  beberapa sifat/ karakteristik lahan yang terdiri dari penggunaan lahan, jenis tanah, formasi geologi, serta kemiringan lereng. Dari hasil penelitian di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati diperoleh data satuan lahan yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik Satuan Lahan Kecamatan Tlogowungu
SPL
Luas SPL (ha)
Penggunaan Lahan
Jenis Tanah
Kelas Lereng
1
249.23
Kebun
Vertic Dystrudepts
curam
2
73.58
Tegalan
Vertic Dystrudepts
sangat miring
3
299.08
Tegalan
Vertic Dystrudepts
curam
4
342.83
Tegalan
Vertic Dystrudepts
sangat miring
5
157.49
Sawah tadah hujan
Vertic Dystrudepts
sangat miring
6
243.25
Tegalan
Chromic Vertic Hapludalfs
sangat miring
7
378.47
Tegalan
Chromic Vertic Hapludalfs
sangat miring
8
154.82
Sawah Irigasi
Chromic Vertic Hapludalfs
sangat miring
9
274.89
Tegalan
Lithic Dystrudepts
sangat miring
10
162.63
Sawah tadah hujan
Lithic Dystrudepts
miring
11
639.50
Tegalan
Chromic Vertic Hapludalfs
miring
12
589.13
Tegalan
Chromic Vertic Hapludalfs
datar
13
63.53
Sawah Irigasi
Chromic Vertic Hapludalfs
miring
14
460.76
Tegalan
Lithic Dystrudepts
miring
15
214.10
Tegalan
Lithic Dystrudepts
miring
16
329.10
Kebun
Lithic Dystrudepts
datar
17
375.60
Tegalan
Lithic Dystrudepts
datar
18
136.01
Kebun
Lithic Dystrudepts
datar
19
512.25
Tegalan
Typic Hapludoxs
datar
20
483.70
Kebun
Typic Hapludoxs
datar
21
375.30
Kebun
Vertic Dystrudepts
datar
22
889.71
Tegalan
Vertic Dystrudepts
datar
23
859.69
Sawah Irigasi
Vertic Dystrudepts
datar
Jumlah
8264.649



Sumber: Survai Lapang Tahun 2006
Satuan lahan daerah penelitian pada Tabel 7. diperoleh berdasarkan konsep homogenitas karakteristik lahan (distribusi dan kategori penggunaan lahan, jenis tanah, formasi geologi dan kemiringan lereng yang diperoleh dari interpretasi lahan). Dari Tabel 7. Karakteristik Satuan Lahan Kecamatan Tlogowungu didapat sebanyak 23 satuan lahan. Peta satuan lahan disajikan pada Peta 6. Peta Satuan Lahan Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Erosi
1. Faktor Erosivitas Hujan
Erosivitas hujan ialah kemampuan air hujan untuk menghancurkan dan menghanyutkan partikel tanah. Jadi merupakan fungsi sifat fisik curah hujan, meliputi jumlah hujan, lama hujan, ukuran butir serta kecepatan jatuh butir hujan yang menentukan kemampuannya dalam menghancurkan dan menghanyutkan partikel tanah (Baver,1960).
Nilai indeks curah hujan pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Indeks Erosivitas   Hujan (IR) Di Kecamatan Tlogowungu
Bulan
Rerata Curah Hujan Bulanan (P)  cm
IR
Januari
26.07
186.35
Pebruari
24.64
172.59
Maret
19.87
128.8
April
17.09
104.93
Mei
10.85
56.56
Juni
7.67
35.29
Juli
5.54
22.67
Agustus
4.77
18.5
September
6.07
25.67
Oktober
9.18
45.06
Nopember
18.84
119.81
Desember
25.59
181.7
IR
176.18
1097.93
Sumber : Hasil Analisis Lab.Fisika dan Konservasi Tanah
Dari Tabel 8. Nilai Indeks Erosivitas (IR) daerah penelitian adalah 1097,93. Angka tersebut diperoleh berdasarkan  rumus IR = 2.21 P 1.36. Intensitas hujan juga mempengaruhi ukuran butir hujan, hujan dengan intensitas rendah banyak mengandung butir hujan berukuran kecil, sedangkan hujan badai dengan intensitas yang tinggi banyak mengandung butir hujan berukuran besar. Erosi terbesar akan terjadi apabila jumlah hujan yang jatuh besar dengan intensitas yang besar pula. Seperti yang disajikan dalam Tabel 9.
         Tabel 9. Pengaruh Jumlah Hujan Dan Intensitas Hujan terhadap Erosi
Jumlah hujan (mm)
Intensitas Maksimum
Waktu Hujan
Penghanyutan Tanah
(mm/jam/10 menit)
(ton/ha)
65
7.5
30 jam
1
47.5
70
1 jam + 52 menit
128
22.5
87.5
15 menit
5.5
Sumber : Baver (1960).
Adanya keragaman dalam laju erosi pada tiap bulan pada daerah penelitian ternyata ada keterkaitan yang erat antar kondisi-kondisi seperti pengelolaan tanah dengan musim, karena semua perlakuan yang diberikan terhadap tanah dilakukan bergantung kepada musim. Umumnya pengelolaan tanah dilakukan pada akhir musim kemarau menjelang musim penghujan yaitu pada bulan Oktober, begitu juga halnya dengan pemeliharaan tanaman yang umumnya dilakukan pada musim penghujan. Adanya keragaman musiman dari erosi tanah tampaknya berkaitan erat dengan curah hujan yang jatuh sepanjang tahun yang beragam baik dalam jumlah maupun intensitasnya, serta persentase penutupan tanah yang juga beragam sepanjang tahun. Perbedaan seperti itu tentunya berpengaruh terhadap laju erosi sebagai akibat berbedanya erosivitas hujan. Artinya hujan yang lebat dan lama pada musim penghujan jelas mempunyai erosivitas yang tinggi dibandingkan dengan hujan yang terjadi pada musim kemarau.
2. Faktor Erodibilitas Tanah
Erodibilitas menunjukkan nilai kepekaan suatu jenis tanah terhadap daya penghancuran dan penghanyutan air hujan. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepekaan tanah yaitu sifat fisik tanah dan pengelolaan tanah. Tanah dengan indeks erodibilitas tinggi adalah tanah yang peka atau mudah tererosi, sedangkan tanah dengan indeks erodibilitas rendah selalu diartikan bahwa tanah itu resisten atau tahan terhadap erosi. Nilai erodibilitas tanah Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Tabel 10.

Tabel  10.  Nilai Erodibilitas (K) Tanah Pada Tiap Satuan Lahan.
SPL
Indeks Tekstur Tanah (M)
BO
Permeabilitas*
Struktur
Nilai K
Klasifikasi K*
1
1947.82
0.1430
Sedang
Gumpal menyudut
0.265
Sedang
2
1947.82
0.1430
Sedang
Gumpal menyudut
0.265
Sedang
3
1947.82
0.1430
Sedang
Gumpal menyudut
0.265
Sedang
4
1947.82
0.1430
Sedang
Gumpal menyudut
0.265
Sedang
5
1947.82
0.1430
Sedang
Gumpal menyudut
0.265
Sedang
6
1112.49
0.0707
lambat
Gumpal menyudut
0.245
Sedang
7
1112.49
0.0707
lambat
Gumpal menyudut
0.245
Sedang
8
1112.49
0.0707
lambat
Gumpal menyudut
0.245
Sedang
9
1588.95
0.1412
agak lambat
Gumpal menyudut
0.260
Sedang
10
1588.95
0.1412
agak lambat
Gumpal menyudut
0.260
Sedang
11
1112.49
0.0707
lambat
Gumpal menyudut
0.245
Sedang
12
1112.49
0.0707
lambat
Gumpal menyudut
0.245
Sedang
13
1112.49
0.0707
lambat
Gumpal menyudut
0.245
Sedang
14
1588.95
0.1412
agak lambat
Gumpal menyudut
0.260
Sedang
15
1588.95
0.1412
agak lambat
Gumpal menyudut
0.260
Sedang
16
1588.95
0.1412
agak lambat
Gumpal menyudut
0.260
Sedang
17
1588.95
0.1412
agak lambat
Gumpal menyudut
0.260
Sedang
18
1588.95
0.1412
agak lambat
Gumpal menyudut
0.260
Sedang
19
245.44
0.0718
agak lambat
Granuler sedang
0.091
sangat rendah
20
245.44
0.0718
agak lambat
Granuler sedang
0.091
sangat rendah
21
682.31
0.0707
agak lambat
Gumpal membulat
0.171
rendah
22
682.31
0.0707
agak lambat
Gumpal membulat
0.171
rendah
23
682.31
0.0707
agak lambat
Gumpal membulat
0.171
rendah
Sumber : Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
       *   Pengharkatan permeabilitas dan klasifikasi nilai K berdasarkan Arsyad, 1989.
         Besarnya nilai K ditentukan oleh tekstur, struktur, permeabilitas, dan bahan organik tanah. Penentuan besarnya nilai K dilakukan dengan menggunakan rumus Wischmeier et al., 1971 sebagai berikut:
100 K = 1,292{2,1M 1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3)}
Dimana: M adalah Indeks tekstur tanah, dengan a adalah kandungan bahan organik (% C x 1,724), b adalah harkat struktur tanah.
Dari hasil penelitian, nilai erodibilitas pada SPL 1, 2, 3, 4 dan 5 mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan dengan SPL yang lain, tingginya nilai tersebut menyebabkan SPL 1, 2, 3, 4 dan 5 memiliki kepekaan yang tinggi terhadap erosi (mudah tererosi) dibandingkan dengan SPL yang lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya nilai erodibilitas pada kelima SPL tersebut adalah tingginya nilai indeks tekstur tanah dibandingkan pada SPL yang lain. Penentuan nilai indeks tekstur tanah disajikan pada (Lampiran 1.) Indeks Tekstur Tanah Pada Tiap Satuan Lahan.
Tanah-tanah pasir lebih tahan terhadap erosi dibandingkan dengan tanah debu, hal tersebut disebabkan karena pasir memiliki pori besar yang banyak sehingga kapasitas infiltrasinya tinggi dan pasir yang berukuran besar lebih tahan terhadap penghanyutan. Sedangkan tanah-tanah yang mengandung debu mudah tererosi karena debu dengan ukuran 0,002-0,06 mm sangat mudah dihanyutkan air, debu mudah jenuh air sehinga kapasitas infiltrasinya cepat menurun dan kemantapan struktur sangat rendah. Tanah yang paling stabil dan tahan tererosi adalah tanah bertekstur liat. Walaupun liat miskin akan pori-pori besar sehingga infiltrasinya sangat rendah, namun di pihak lain liat mempunyai kelebihan dibanding debu dan pasir yaitu kemantapan struktur yang tinggi dan kapasitas penampungan air yang tinggi.

Sifat fisik tanah terhadap erosi yang paling penting yaitu tentang kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan kepekaan terhadap kekuatan yang menghancurkan. Kapasitas infiltrasi adalah kemampuan tanah dalam merembeskan air yang terdapat di permukaan atau aliran air permukaan ke bagian tanah tersebut, yang dengan sendirinya adanya perembesan itu aliran air permukaan akan sangat terpengaruh.
Jelasnya makin besar aliran kapasitas infiltrasi maka aliran permukaan akan berkurang. Sebaliknya makin kecil kapasitas infiltrasi yang disebabkan banyaknya pori tanah yang tersumbat, maka aliran permukaan makin bertambah atau meningkat. Yang banyak menentukan daya infiltrasi air dari permukaan tanah adalah faktor tekstur tanah, dan pemadatan tanah.
Permeabilitas pada tanah daerah penelitian termasuk kategori agak lambat sampai sedang. Jumlah dan ukuran serta kemantapan pori akan sangat menentukan kapasitas atau kemampuan infiltrasi tanah, terutama jumlah pori-pori yang berukuran besar, makin banyak pori-pori yang besar maka kapasitas infiltrasinya makin besar pula. Tanah dengan permeabilitas yang rendah/ lambat dapat menyebabkan peningkatan aliran permukaan karena air sukar masuk ke dalam pori-pori tanah sehingga dapat menyebabkan tanah semakin peka terhadap erosi
Tentang kandungan bahan organik pengaruhnya terhadap erodibilitas, yaitu dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah menjadikan berkurangnya erodibilitas tanah (Undang Kurnia, 2004). Akan tetapi pada daerah penelitian ternyata pada SPL dengan kandungan bahan organik yang tinggi dibandingkan dengan SPL yang lain, yaitu pada SPL 1, 2, 3, 4 dan 5 memiliki nilai erodibilitas yang tinggi, yaitu sebesar 0.265 dengan kriteria sedang. Hal tersebut dikarenakan faktor yang mempengaruhi nilai erodibilitas bukan hanya bahan organik, faktor lain yang mempengaruhi seperti indeks tekstur tanah, permeabilitas, dan struktur tanah menyebabkan SPL tersebut memiliki nilai erodibilitas yang tinggi dibandingkan dengan SPL yang lainnya.
Struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil dari tanah, akibat melekatnya butir-butir tanah satu sama lain. Strukur berkaitan dengan agregasi dan susunan butir-butir tanah. Pada daerah penelitian struktur tanahnya adalah gumpal menyudut, granuler sedang dan gumpal membulat terlihat dalam Tabel 10. Struktur tanah yang demikian dikarenakan pada daerah penelitian kandungan liat pada tanah sudah cukup banyak.
3.  Faktor Panjang Dan Kemiringan Lereng
Panjang lereng, kemiringan lereng dan bentuk lereng termasuk dalam faktor topografi yang mempengaruhi erosi. Makin panjang lereng, kecepatan aliran permukaan akan semakin besar, sehingga tanah permukaan yang terkikis menjadi bertambah besar. Nilai faktor panjang lereng dan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai Faktor Panjang Lereng (L) &Kemiringan Lereng (S) Pada Tiap Satuan Lahan
SPL
Kemiringan Lereng (%)
Kelas Kemiringan Lereng
Panjang Lereng (m)
LS
1
42%
Curam
238
7.084297
2
23%
Sangat Miring
123
0.933881
3
29%
Curam
318
2.934604
4
24%
Sangat Miring
223
1.386436
5
24%
Sangat Miring
296
1.597054
6
22%
Sangat Miring
126
0.780331
7
16%
Sangat Miring
275
0.395595
8
16%
Sangat Miring
352
0.447943
9
21%
Sangat Miring
165
0.809874
10
14%
Miring
110
0.158766
11
12%
Miring
200
0.125792
12
6%
Datar
256
0.012785
13
11%
Miring
212
0.106048
14
13%
Miring
136
0.149401
15
11%
Miring
193
0.101821
16
3%
Datar
178
0.000417
17
6%
Datar
174
0.010616
18
6%
Datar
130
0.009195
19
4%
Datar
259
0.002463
20
2%
Datar
228
0.000164
21
3%
Datar
294
0.000485
22
2%
Datar
403
0.000195
23
3%
Datar
328
0.000500
      Sumber : Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
Nilai faktor panjang lereng dan kemiringan lereng diperoleh dari persamaan rumus Gregory et al. 1977:
Tentang kemiringan lereng ternyata pengaruhnya terhadap aliran permukaan dan daya penghanyutannya adalah berbeda. Pada satu pihak kemiringan mempengaruhi perbandingan infiltrasi dan aliran permukaan dan pada pihak yang lain ternyata kemiringan berpengaruh juga terhadap kecepatan aliran permukaan. Pada kemiringan tanah yang miring mengalirnya air hujan dipermukaan tidak akan secepat pada kemiringan yang curam, sehingga kesempatan air untuk masuk kedalam tanah akan lebih besar, dan hal demikian akan mengurangi adanya aliran permukaan yang menyebabkan terjadinya erosi. Baver (1960) telah melakukan penelitian/ percobaan dengan hasil seperti pada Tabel 12. Pengaruh Kemiringan Tanah Terhadap Tingkat Bahaya Erosi.

Tabel 12. Pengaruh Kemiringan Tanah Terhadap Tingkat Bahaya Erosi
Kemiringan Tanah (%)
Erosi (Ton/ha)
5
33,25
10
100,25
15
167,75
20
228,25
Sumber: Baver (1960)
Untuk daerah penelitian satuan lahan yang memiliki panjang lereng terbesar yaitu SPL 22 dengan panjang lereng 403 meter ternyata mempunyai faktor panjang dan kemiringan lereng yang relatif  kecil apabila dibandingkan dengan SPL 1 yang mempunyai panjang lereng 238 meter tetapi justru memiliki faktor panjang dan kemiringan lereng yang  paling tinggi diantara SPL yang lain sebesar 7.084. Hal tersebut dikarenakan SPL 1 meskipun panjang lerengnya lebih kecil dibandingkan dengan SPL 22 tetapi memiliki kemiringan lereng yang besar yaitu dengan kemiringan 26-45(%) tepatnya 42%, hal demikian yang menyebabkan SPL 1 mempunyai faktor LS yang tinggi dibandingkan dengan SPL 22 yang meskipun memiliki panjang lereng besar namun untuk kemiringan lerengnya adalah termasuk dalam kriteria datar yaitu sebesar 2%. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai LS selain faktor panjang lerengnya.
4. Faktor Penutupan Lahan Dan Tindakan Konservasi Tanah
Setiap jenis penggunaan lahan dan jenis vegetasi dominan pada tiap satuan lahan beserta tindakan konservasi tanah yang dilakukan di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati dirinci kedalam Tabel 13.  Faktor Penutupan Lahan Dan Tindakan Konservasi Tanah (CP)
Tabel 13.  Faktor Penutupan Lahan Dan Tindakan Konservasi Tanah (CP)
SPL
Penggunaan Lahan
Vegetasi Dominan
Nilai C*
Tindakan  Konservasi
Nilai P**
CP
1
Kebun
Kopi
0.200
Penaman menurut kontur ( 20%)
0.900
0.1800
2
Tegalan
Pisang
0.600
Penaman menurut kontur ( 20%)
0.900
0.5400
3
Tegalan
Ketela Pohon
0.195
Teras bangku Konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
4
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras bangku Konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
5
Sawah tadah hujan
Padi
0.561
Teras bangku konstruksi baik
0.040
0.0224
6
Tegalan
Ketela Pohon
0.195
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
7
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
8
Sawah Irigasi
Padi
0.561
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.1964
9
Tegalan
ketela pohon
0.195
Teras bangku konstruksi sedang
0.150
0.0293
10
Sawah tadah hujan
Padi
0.561
Teras bangku konstruksi sedang
0.150
0.0842
11
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
12
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
13
Sawah Irigasi
Padi
0.561
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.1964
14
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
15
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras bangku konstruksi kurang baik
0.350
0.0683
16
Kebun
Ketela pohon
0.195
Teras tradisional
0.400
0.0780
17
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras tradisional
0.400
0.0780
18
Kebun
Ketela pohon
0.195
Teras tradisional
0.400
0.0780
19
Tegalan
Tebu
0.200
Teras tradisional
0.400
0.0800
20
Kebun
Ketela pohon
0.195
Tanpa tindakan konservasi
1.000
0.1950
21
Kebun
Jati
0.200
Tanpa tindakan konservasi
1.000
0.2000
22
Tegalan
Ketela pohon
0.195
Teras tradisional
0.400
0.0780
23
Sawah Irigasi
Padi
0.561
Teras bangku konstruksi sedang
0.150
0.0842

  Nilai C berdasarkan  Lampiran 5. Nilai Faktor C
** Nilai P berdasarkan Lampiran 6. Nilai Faktor P Untuk berbagai tindakan konservasi tanah
Sumber: Survai Lapang Tahun 2006

Vegetasi memiliki peranan besar dalam menghambat dan mencegah keberlangsungan erosi. Vegetasi selain akan melindungi tanah dari pukulan langsung air hujan dapat pula memperbaiki struktur tanah melalui penyebaran akar-akarnya. Selain itu juga mengurangi kecepatan aliran permukaan, melindungi penggerusan tanah oleh aliran permukaan, mendorong perkembangan biota tanah yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia tanah. Dengan ditambah pengaruh perakaran maka kapasitas infiltrasi tanah meningkat dan aliran permukaan berkurang. Pengaruh vegetasi terhadap bahan organik tanah sangat tinggi, karena semakin banyak sisa-sisa vegetasi maka bahan organik tanah juga akan bertambah, hal ini berpengaruh positif terhadap resistensi tanah terhadap erosi.
Untuk tindakan konservasi tanah yang dilakukan di Kecamatan Tlogowungu, pada umumnya  meliputi tindakan pembuatan teras, dan penanaman menurut kontur. Teras bangku atau disebut juga teras tangga, dibangun terutama untuk mengurangi panjang lereng. Teras ini disarankan dibuat pada lahan agak miring sampai dengan miring dan mempunyai kedalaman efektif yang dalam/ tebal. Untuk teras bangku sendiri terdiri dari teras bangku dengan konstruksi baik, konstruksi sedang dan konstruksi kurang baik serta teras tradisional. Pada lahan dengan kemiringan 20-30% kriteria teras bangku konstruksi baik yaitu selain tebal, juga memiliki sisi teras yang dalam (50-80 cm). Untuk teras bangku dengan konstruksi sedang dicirikan adanya sebagian dari sisi teras yang telah rusak disamping konstruksinya yang tidak teratur. Teras bangku dengan konstruksi  kurang baik selain dicirikan konstruksinya yang tidak teratur, juga dicirikan banyak terdapat sisi teras yang rusak/hilang. Sedangkan teras tradisional merupakan jenis teras lain, yang dibuat untuk tanaman tahunan, teras dibuat dengan interval yang bervariasi menurut jarak tanah
(Anonim, 2007).
Pembuatan sengkedan atau teras-teras pada lereng yang panjang pada daerah penelitian bertujuan mengurangi panjang lereng dan ini berarti kecepatan laju aliran permukaan mengalami hambatan, dengan dibuatnya sengkedan laju aliran air akan demikian diperlamban sehingga menjadikan daya angkut dan atau daya pengikisannya akan sangat lemah, bahkan sebaliknya infiltrasi air ke dalam tanah akan meningkat, sehingga dapat mengurangi terjadinya erosi.
Untuk faktor P (tindakan konservasi) pada daerah penelitian rata-rata adalah dengan pembuatan teras bangku dengan konstruksi yang kurang baik, yaitu meliputi SPL 3, 4, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14 dan 15. Sedangkan untuk lahan dengan tanpa tindakan konservasi meliputi lahan pada SPL 20 dan 21. Teras merupakan metode konservasi yang ditujukan untuk mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah. Tipe teras yang relatif banyak dikembangkan pada lahan penelitian adalah teras bangku atau teras tangga. Teras bangku dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan tanah dibagian bawahnya, sehingga terjadi suatu deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga, teras bangku dengan konstruksi sedang dapat dilihat pada Lampiran 14. Foto Lahan SPL 23 Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati. Pada usaha tani di daerah penelitian tersebut fungsi utama dari teras bangku adalah selain mempermudah pengolahan tanah juga memperlambat laju aliran air pada permukaan khususnya pada waktu musim penghujan.
Dengan nilai P yang tinggi belum tentu menyebabkan nilai faktor CP menjadi tinggi, hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain yaitu faktor C yang mempengaruhi nilai faktor CP. Seperti pada Tabel 13. pada SPL 20 dan 21 memiliki nilai faktor P terbesar yaitu 1,00 akan tetapi pada SPL 20 dan 21 memiliki nilai CP yang lebih rendah dibandingkan dengan SPL 2 yang memiliki nilai faktor P sebesar  0,9. Hal tersebut dikarenakan pada SPL 2 memiliki nilai faktor C yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai faktor C pada SPL 20 dan 21.

E. Tingkat
Bahaya Erosi
Besarnya nilai erosi aktual di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati diperoleh dengan rumus  USLE ( perhitungan nilai R, K, L, S,CP) pada tiap satuan lahan, dan nilai erosi aktual untuk tiap satuan lahan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Besar Erosi Aktual Pada Tiap Satuan Lahan
SPL
R
K
LS
CP
A (ton/ha/thn)
1
1097.93
0.2649
7.084297
0.1800
         370.874
2
1097.93
0.2649
0.933881
0.5400
         146.670
3
1097.93
0.2649
2.934604
0.0683
           58.294
4
1097.93
0.2649
1.386436
0.0683
           27.541
5
1097.93
0.2649
1.597054
0.0224
           10.405
6
1097.93
0.2447
0.780331
0.0683
           14.319
7
1097.93
0.2447
0.395595
0.0683
             7.259
8
1097.93
0.2447
0.447943
0.1964
           23.636
9
1097.93
0.2598
0.809874
0.0293
             6.769
10
1097.93
0.2598
0.158766
0.0842
             3.813
11
1097.93
0.2447
0.125792
0.0683
             2.308
12
1097.93
0.2447
0.012785
0.0683
             0.235
13
1097.93
0.2447
0.106048
0.1964
             5.596
14
1097.93
0.2598
0.149401
0.0683
             2.911
15
1097.93
0.2598
0.101821
0.0683
             1.984
16
1097.93
0.2598
0.000417
0.0780
             0.009
17
1097.93
0.2598
0.010616
0.0780
             0.236
18
1097.93
0.2598
0.009195
0.0780
             0.205
19
1097.93
0.0915
0.002463
0.0800
             0.020
20
1097.93
0.0915
0.000164
0.1950
             0.003
21
1097.93
0.1713
0.000485
0.2000
             0.018
22
1097.93
0.1713
0.000195
0.0780
             0.003
23
1097.93
0.1713
0.000500
0.0842
             0.008
Sumber: Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
Setelah didapat nilai R, K, LS dan CP dari data survai lapang dan analisis laboratorium, maka didapat nilai besaran laju erosi dengan satuan ton/ha/tahun. Dari besar erosi masing-masing SPL dikelompokkan kedalam kelas bahaya erosi. Setelah kedalaman tanah dan kelas bahaya erosi diketahui maka dapat ditentukan tingkat bahaya erosi masing-masing SPL dan kemudian diperoleh nilai tingkat bahaya erosi pada masing-masing SPL. Yang dimaksud dengan tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tabel solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Jumlah maksimum tanah hilang ini agar produktivitas lahan tetap lestari, pada dasarnya harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah.
Untuk menentukan tingkat bahaya erosi, digunakan pendekatan kedalaman tanah dan besarnya erosi pada masing-masng SPL sebagai dasar. Untuk kedalamnan tanah diperoleh dari pengukuran dilapang. Pengukuran kedalaman tanah dilakukan pada tiap jenis tanah  yang ada di Kecamatan Tlogowungu. Besarnya Tingkat Bahaya Erosi dapat dilihat pada Tabel 15. Tingkat Bahaya Erosi Pada Tiap Satuan Lahan
Tabel 15.  Tingkat Bahaya Erosi Pada Tiap Satuan Lahan
SPL
KELAS BAHAYA EROSI*
KEDALAMAN TANAH
TBE *
1
IV
30-60 (Dangkal)
Sangat Berat
2
III
30-60 (Dangkal)
Sangat Berat
3
II
30-60 (Dangkal)
Berat
4
II
30-60 (Dangkal)
Berat
5
I
30-60 (Dangkal)
Sedang
6
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
7
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
8
II
60-90 (Agak dalam)
Sedang
9
I
30-60 (Dangkal)
Sedang
10
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
11
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
12
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
13
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
14
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
15
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
16
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
17
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
18
I
60-90 (Agak dalam)
Ringan
19
I
> 90 (dalam)
Sangat Ringan
20
I
> 90 (dalam)
Sangat Ringan
21
I
> 90 (dalam)
Sangat Ringan
22
I
> 90 (dalam)
Sangat Ringan
23
I
> 90 (dalam)
Sangat Ringan


 Nilai kelas bahaya erosi dan klasifikasi TBE berdasarkan Anonim, 1994
Sumber: Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah

Tingkat bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu dapat diketahui luasannya, untuk luasan berdasarkan tingkat bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Luas Tingkat Bahaya Erosi Kecamatan Tlogowungu
Tingkat Bahaya Erosi
Luas (ha)
Sangat Ringan
3120.65
Ringan
3592.08
Sedang
587.20
Berat
641.90
Sangat Berat
322.81
Jumlah
8264.65
Sumber: Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
Dari keseluruhan hasil penelitian tingkat bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati, ternyata lahan dengan tingkat bahaya erosi ringan memiliki luasan yang paling tinggi (3592,08 ha). Hal tersebut perlu diperhatikan karena tingkat bahaya erosi ringan dapat menjadi sedang, berat maupun sangat berat mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya erosi. Pada daerah penelitian Kecamatan Tlogowungu  khususnya untuk daerah dengan tingkat bahaya erosi sedang sampai dengan sangat berat perlu usaha konservasi dalam rangka mengurangi terjadinya erosi. Peta tingkat bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati beserta luasannya disajikan pada Peta 7. Peta Tingkat Bahaya Erosi Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati.


F.  Pola Pengelolaan Tanah
1. Identifikasi Pola Pengelolaan Tanah
Perbedaaan penggunaan lahan akan mempengaruhi tindakan pengelolaan tanah pada lahan tersebut. Secara umum, ada tiga pola pengolahan tanah yang dilaksanakan petani di daerah penelitian seperti pada Tabel 17. yaitu meliputi: (i) Olah Tanah Konservasi (OTK), (ii) Olah Tanah Intensif (OTI), dan (iii) Tanpa Olah Tanah (TOT).
Tabel 17. Identifikasi Pola Pengolahan Tanah.
SPL
Pengolahan Tanah
Tindakan Konservasi Tanah (Mekanik)
Pola Tanam
1
Olah Tanah minimum/OTK
Penaman menurut kontur ( 20%)
Tumpangsari
2
Olah Tanah minimum/OTK
Penaman menurut kontur ( 20%)
Tumpangsari
3
Olah Tanah minimum/OTK
Teras bangku Konstruksi kurang baik
Tanaman dalam larikan
4
Olah Tanah minimum/OTK
Teras bangku Konstruksi kurang baik
Tumpangsari
5
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi baik
Tumpangsari
6
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Tumpangsari
7
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Tumpangsari
8
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Tiap petak lahan
9
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi sedang
Tumpangsari
10
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi sedang
Tumpangsari
11
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Tiap petak lahan
12
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Campuran
13
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Tiap petak lahan
14
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Tumpangsari
15
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi kurang baik
Campuran
16
Olah Tanah minimum/ OTK
Teras tradisional
Tiap petak lahan
17
Olah Tanah Intensif
Teras tradisional
Tiap petak lahan
18
Olah Tanah minimum/ OTK
Teras tradisional
Campuran
19
Olah Tanah Intensif
Teras tradisional
Tiap petak lahan
20
Tanpa Olah Tanah
Tanpa tindakan konservasi
Campuran
21
Tanpa Olah Tanah
Tanpa tindakan konservasi
Campuran
22
Olah Tanah Intensif
Teras tradisional
Campuran
23
Olah Tanah Intensif
Teras bangku konstruksi sedang
Tumpangsari
Sumber: Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah 
 (i). Olah Tanah Konservasi (OTK)/ Pengolahan Tanah Minimal:  Tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah. (ii). Pengolahan tanah dengan pola OTI, memiliki orientasi untuk memaksimalkan usaha tani dengan melakukan tindakan pengolahan tanah yang sifatnya intensif/ rutin  (iii).Tanpa olah tanah (TOT): Tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, penanaman dilakukan dengan tugal.
Pengolahan tanah dengan pola OTK (Olah Tanah minimum), bermaksud untuk menjaga keberlanjutan lahan dengan melakukan tindakan pengolahan tanah yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi, Olah Tanah Konservasi sebagai suatu cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk menyiapkan tanah agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum, namun tetap memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.
Pada lokasi penelitian, masyarakat mengolah tanahnya dengan pola Olah Tanah Minimum/Konservasi (OTK) dengan tindakan konservasi yang disesuaikan dengan keadaan lahan. Pengolahan tanah secara OTK disajikan pada Gambar 2.

Pada lahan yang lerengnya curam, telah dibuat bangunan konservasi seperti pembuatan rorak. Sedangkan pada lokasi yang sangat miring sampai datar, telah dibuat teras bangku konstruksi kurang baik, konstruksi sedang, teras tradisional dan tanpa tindakan konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran dalam melakukan pengolahan tanah yang sifatnya tetap menjaga kelestarian lahan disamping keberlanjutan usaha taninya. Pola OTK ini terlihat pada SPL dengan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) yang sangat berat, berat dan ringan, meliputi: (i) TBE sangat berat: SPL 1 dan 2. (ii) TBE berat: SPL 3 dan 4. Untuk Tingkat Bahaya Erosi (TBE) disajikan pada Tabel 15.  Tingkat Bahaya Erosi Pada Tiap Satuan Lahan.
Pola OTI, dilakukan pada daerah dengan kelerengan datar sampai sangat miring, dengan TBE yang tergolong sedang sampai sangat ringan, meliputi: (i) TBE sedang: SPL 5, 8 dan 19. (ii) TBE ringan: SPL 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 17. (iii) TBE sangat ringan: SPL 19, 22, 23. Pola Olah Tanah Intensif (OTI) dengan kelerengan sangat miring di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.

Kecenderungan yang terjadi pada pola OTI pada daerah penelitian yaitu tindakan pengolahan tanah yang dilakukan kurang memperhatikan kaidah-kaidah penerapan teknik konservasi, sebagai contoh pengolahan tanah dengan mengolah tanah sedalam lebih dari 20 cm, teknik pengolahan tersebut perlu diperhatikan mengingat dampak dari pengolahan tanah dengan pencangkulan terlalu dalam akan menyebabkan semakin besarnya struktur tanah yang rusak sehingga akan mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Hal tersebut sangat perlu perhatian dalam rangka keberlanjutan usaha tani.
Lain halnya, dengan pola TOT yang tanpa melakukan tindakan pengolahan tanah. Pola pengolahan secara TOT tidak memerlukan penyiapan tanah. Pada daerah penelitian pola pengolahan tanah secara TOT dilakukan pada satuan lahan: 20 dan 21. Pola pengolahan tersebut pada daerah penelitian dicirikan oleh sangat sedikitnya gangguan terhadap permukaan tanah, dan hanya dilakukan pembuatan lubang kecil untuk menanam serta adanya penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa yang menutupi permukaan lahan. Untuk SPL 20 dan 21 dengan pengolahan tanah yang sama, yaitu secara TOT memiliki tingkat bahaya erosi sangat ringan, TBE dalam kategori sangat ringan tersebut, faktor yang menyebabkan antara lain yaitu faktor kedalaman tanah dan kemiringan lereng.

2. Hasil Wawancara Tentang Pengelolaan Tanah Yang Dilakukan Oleh Petani
  Pola pengelolaan tanah di Kecamatan Tlogowungu diketahui dari hasil wawancara dan pengamatan secara langsung di lapangan. Pada umumnya usahatani pada lokasi penelitian yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Oleh karenanya pemilihan jenis tanaman yang diusahakan masih berorientasi pada jenis komoditas seperti jagung, ketela pohon, dan tebu. 
Pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani masih menggunakan cara konvensional, yaitu pengolahan tanah yang dilakukan sederhana dengan menggunakan alat cangkul dan sejenisnya. Untuk SPL 15 misalnya, pengolahan tanah dilakukan dengan pencangkulan sedalam 15 -20 cm pada seluruh areal lahan. Tujuan dari pengolahan tanah tersebut yaitu untuk persiapan media tanam untuk tanaman ketela pohon.
Dari hasil wawancara dengan salah seorang petani di lokasi penelitian, tepatnya pada lokasi SPL empat diketahui bahwa petani mengolah tanahnya hanya pada barisan tanaman saja, selebar  60 cm dan dalamnya berkisar antara 15–20 cm. Alasan petani melakukan pengolahan tanah tersebut  diantarannya adalah untuk mengurangi tanah yang hilang pada saat musim penghujan, dimana terdapat endapan tanah akibat dari hujan tersebut pada daerah rendah, selain hal tersebut keadaan lahan dengan lereng yang sangat miring merupakan alasan petani melakukan pengolahan tanah secara minimum.
Hasil wawancara tentang pengelolaan tanah dengan petani disajikan pada Tabel 18.


G . Alternatif Pengelolaan Tanah Terbaik
Pengolahan tanah merupakan tindakan yang penting untuk menciptakan kondisi media perakaran yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Jadi, apabila kondisi fisik serta kimia tanah sudah baik, maka pengolahan tanah tidak diperlukan. Dalam usaha pengawetan tanah, cara pengolahan tanah sangat menentukan keberhasilannya. Dapat ditegaskan walaupun pada tanah yang kritis telah dilengkapi dengan bangunan-bangunan pengendali erosi akan tetapi kalau pengolahan tanahnya dilakukan secara sembarangan, tidak mengikuti petunjuk-petunjuk pengelolaan tanah yang baik dan benar, maka kritisnya tanah akan meningkat.
Pada daerah penelitian ternyata pada sebagian besar lahan, pengolahan tanah dilakukan secara intensif (OTI). Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar atau fauna, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kaitannya dengan erosi, pengolahan tanah akan merusak agregasi tanah akibat daya rusak mekanis dari alat-alat pengolahnya, atau dapat pula menimbulkan penurunan kandungan bahan organik yang berperanan besar dalam memelihara agregasi tanah. Penurunan kualitas agregasi tanah akan menurunkan pula produktivitas tanah tersebut. Tanah yang diolah secara berlebihan dapat mendatangkan ancaman terjadinya erosi sedang, berat dan bahkan sangat berat,  pada tanah yang memiliki kedalaman dangkal dan berada pada kemiringan yang curam, pencangkulan dilakukan sedalam mungkin, pembuatan larikan-larikan bagi tanaman tanpa perhitungan yang matang atau tidak mengikuti petunjuk-petunjuk cara pengolahan tanah yang baik, maka cara yang demikian berpotensi besar meningkatkan tingkat bahaya erosi.
Berdasarkan konsep konservasi tanah dan air, maka tindakan pengelolaan tanah terbaik untuk meminimalkan dampak negatif erosi yang dapat diberikan pada lahan dengan variasi tingkat bahaya erosi di Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Tabel 19.  Alternatif Pengelolaan Tanah Terbaik Pada Tiap Satuan Lahan Di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati Berdasarkan Konservasi Tanah Dan Air
SPL
Pengolahan Tanah
Teknik Konservasi Tanah dan Air
1
TOT
·   Teras saluran, T.guludan, T.kredit,T.datar, T.individu, Dam pengendali,Dam penahan, Gully control.
·   enanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Penanaman penutup tanah, Kebun campuran (agroforestry, farming forest)
·   Penserasahan, perlindungan mata air/ sungai

2
TOT
·   Teras saluran, T.guludan, T.kredit,T.bangku, T.datar, T.individu,T.bangku putus, Bangunan terjunan,dam pengendali, Dam penahan
·   Penanaman tumpangsari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping,Penanarnan penutup tanah, Kebun campuran (agroforestry, farming forest)
·   enserasahan
3
TOT*
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches), Dam pengendali, Bangunan terjunan, Hutan rakyat.
·   Pembuatan rorak
·    Penanaman tumpangsari,  Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah
·   Penserasahan, perlindungan mata air/ sungai
4
TOT
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches), Dam pengendali, Bangunan terjunan, Hutan rakyat.
·    Penanaman tumpangsari,  Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah
5
OTK
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunnng (Hill side ditches)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
6
OTK*
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·   T.bangku dengan mulsa penutup
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
7
OTK*
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·   T.bangku dengan mulsa penutup
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
8
OTK
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
9
TOT*
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung   
·   Penanaman penutup tanah, Kebun campuran (agroforestry, farming forest)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
10
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
11
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
12
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
13
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
14
OTI
·   .saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·    Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
15
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·   Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
16
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·   Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
17
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·   Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
18
OTI
·   T.saluran, T.guludan, T.kredit, T.datar, T.gunung (Hill side ditches)
·   Penanaman tumpang sari, Penanaman menurut kontur, Strip cropping, Tanaman penutup tanah.
19
OTI
-
20
OTI
-
21
OTI
-
22
OTI
-
23
OTI
-
Sumber: Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah 
*)  Terdapat penambahan teknik konservasi berdasarkan faktor pembatas pada  SPL

Tabel 19. Alternatif Pengelolaan Tanah Terbaik Pada Tiap Satuan Lahan Di Kecamatan Tlogowungu  Kabupaten Pati  diperoleh dari analisis karakteristik lahan dan tingkat bahaya erosi yang kemudian dicocokkan (matching) dengan Lampiran 7. Arahan Teknik Konservasi Tanah Dan Air Departemen Kehutanan 1986. Sedangkan untuk pengolahan tanahnya, kriteria satuan lahan dengan TBE sangat berat dan berat adalah dengan TOT, untuk satuan lahan dengan TBE sedang, pengolahan tanah dengan OTK, dan untuk TBE ringan, pengolahan tanahnya secara OTK pada satuan lahan dengan kemiringan lereng >15% dan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 15% pola pengolahan tanah dapat secara OTI. Dan untuk satuan lahan dengan TBE sangat ringan, pengolahan tanah dilakukan secara OTI
Dari hasil penelitian, alternatif pengelolaan tanah pada satuan lahan dengan kemiringan lereng yang curam yaitu pada SPL 1 dan 3 adalah dengan TOT dengan tindakan konservasi diantaranya adalah dengan pembuatan teras bangku. Pengolahan tanah secara TOT dapat meminimalisir terjadinya erosi. Hasil penelitian yang dilakukan di Coshocton, Ohio menunjukkan bahwa praktek TOT menghasilkan aliran  permukaan jauh lebih kecil dibandingkan dengan praktek pengolahan tanah secara konvensional baik pengolahan tanah secara minimum maupun intensif (Edwards,1991 dalam Undang Kurnia et al, 2004). Hasil penelitian tentang curah hujan dan aliran permukaan dengan sistem TOT dan pengolahan tanah konvensional disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20.  Curah Hujan Dan Aliran Permukaan Dengan Sistem TOT Dan Pengolahan Tanah Konvensional Di Ohio Amerika Serikat.
Tahun
Curah Hujan (mm)
Aliran Permukaan (mm)


TOT
Olah Tanah Konvensional
1979
1124
3,81
140,2
1980
1175
4,90
312,8
1981
1057
0,14
142,2
1982
889
0,00
113,3
1983
1027
0,00
*
1984
909
2,31
*
1985
929
0,01
*
1986
966
9,21
*
1987
841
0,15
*
1988
854
0,03
*
Sumber: Edward, 1991 dalam Undang Kurnia et al, 2004
* Tidak dilakukan lagi pengolahan tanah secara konvensional
Dari Tabel 20. dapat disimpulkan bahwa dengan TOT mampu mengurangi terjadinya aliran permukaan, yang mana aliran permukaan mnerupakan salah satu faktor penyebab erosi.
Untuk tindakan konservasi pada SPL 1 dan 3 salah satu alternatifnya yaitu dengan pembuatan teras bangku, dimana pada SPL 1 dan 3 dari analisis USLE diketahui kendala utama adalah faktor kemiringan lereng (LS). 
Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga. Pada usahatani di lokasi penelitian, fungsi utama dari teras bangku adalah: (1) memperlambat aliran permukaan; (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak; (3) meningkatkan laju infiltrasi; dan (4) mempermudah pengolahan tanah.
Efektivitas teras bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras. Rumput dan legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai penguat teras. Teras bangku juga dapat diperkuat dengan batu yang disusun, khususnya pada tampingan.
Peranan teras bangku didalam usaha pencegahan erosi ternyata cukup besar. Pada tabel  21 dan tabel 22 dikemukaan tentang efektifitas teras bangku didalam pengendalian erosi.
Tabel 21. Banyaknya Tanah Yang Terhanyutkan Pada Lahan Dengan Teras Bangku Dan Tidak Diteras
Tahun Percobaan
Curah Hujan (mm)
Penghanyutan tanah (ton/ha)
Lahan dengan teras bangku
Tidak diteras
1938
2300
1,28
3,80
1940
3480
2,52
5,06
Sumber: Kartasapoetra 1987
Selanjutnya tabel 22. memperjelas peranan penterasan terhadap erosi. Tabel 22 merupakan hasil penelitian yang dilakukan lembaga penelitian tanah, pada lahan dengan jenis tanah entisol di desa Tanjungharjo, Yogyakarta.
Tabel 22.   Besarnya Erosi Dan Aliran Permukaan Pada Percobaan Selama   180 Hari di Desa Tanjungharjo.
No
Perlakuan
Erosi (ton/ha)
Aliran permukaan (% terhadap hujan)
1
Tanah tanpa tanaman
133,0
18,59
2
berteras bangku dengan tanaman legum
1,6
3,15
3
berteras dasar lebar, ditanami sorgum
4,6
5,62
4
monokultur sorgum
45,3
10,26
Sumber: Kartasapoetra 1987

Tentang pembuatan teras, khususnya jenis teras bangku merupakan pembuatan yang terbaik dalam mengatur aliran air di daerah-daerah yang lahannya miring. Pada lahan yang berlereng panjang, kita akan mengetahui lajunya aliran air permukaan tanah adalah cepat dan kejadian ini tentunya akan mengakibatkan pengikisan tanah yang lebih besar. Tanpa dilakukannya penterasan pada lereng-lereng yang demikian maka erosi pun akan berlangsung lebih cepat dan lebih besar. Pembuatan teras bangku pada lereng yang panjang berarti mengurangi panjang lereng tersebut dan ini berarti kecepatan laju aliran permukaan akan mengalami hambatan-hambatan, tiap teras mampu melakukan hambatan tersebut dan dengan dibuatkannya teras-teras maka akan dapat memperlambat laju aliran permukaan sehingga daya angkut atau daya pengikisannya akan sangat lemah, yang kemudian memperkecil terjadinya erosi bahkan infiltrasi air ke dalam  tanah akan meningkat.

Untuk Peta pengelolaan tanah terbaik di Kecamatan Tlogowungu disajikan pada Peta 8

------------------------------------------------------------------------------ 
JUDUL & KATA PENGANTAR 
BAB V   : KESIMPULAN DAN SARAN 
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN I 
LAMPIRAN II 
LAMPIRAN III


KAJIAN PENGELOLAAN TANAH TERHADAP TINGKAT BAHAYA EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN GIS (BAB IV)
  • Title : KAJIAN PENGELOLAAN TANAH TERHADAP TINGKAT BAHAYA EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN GIS (BAB IV)
  • Posted by :
  • Date : Januari 02, 2018
  • Labels :

thanks for your comments

Top